Putusan Pengadilan Pajak atas sengketa PT MII menegaskan krusialnya penerapan kriteria formal dalam seleksi perusahaan pembanding untuk analisis transfer pricing. Majelis Hakim secara final memvalidasi koreksi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang berlandaskan pada penggunaan filter BvD Independence Indicator, sekaligus menolak seluruh argumen Wajib Pajak yang berfokus pada substansi kesebandingan fungsional.
Kasus ini bermula dari koreksi DJP atas peredaran usaha PT MII (Pemohon Banding) untuk Tahun Pajak 2014, yang timbul dari transaksi penjualan ekspor kepada pihak afiliasi. Inti sengketa adalah benturan metodologi dalam penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha. DJP menolak seluruh perusahaan pembanding yang diajukan Wajib Pajak karena proses pencariannya tidak menggunakan filter BvD Independence Indicator dengan kriteria A, A+, atau A-, yang dianggap esensial untuk membuktikan independensi. Sebaliknya, Wajib Pajak berdalih bahwa filter tersebut bukanlah syarat mutlak menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan, dan lebih mengedepankan analisis kesebandingan fungsional yang dibuktikan melalui rasio biaya operasional terhadap penjualan (Opex/Sales ratio) yang rendah, serupa dengan profilnya sebagai contract manufacturer.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim mengambil sikap yang tegas dengan mendukung penuh pendekatan prosedural yang diterapkan DJP. Penggunaan filter independensi yang ketat dari basis data komersial dianggap sebagai metode yang paling andal untuk memenuhi semangat Pasal 18 ayat (4) UU PPh. Majelis menilai argumen Wajib Pajak yang hanya berfokus pada satu rasio keuangan sebagai pendekatan yang terlalu sempit dan tidak cukup kuat untuk mendelegitimasi pembanding pilihan DJP, karena mengabaikan faktor-faktor kesebandingan lain yang diamanatkan oleh pedoman OECD.
Putusan yang menolak permohonan banding ini memiliki implikasi signifikan, yakni menegaskan bahwa dalam sengketa transfer pricing di Indonesia, pembuktian independensi secara formal dan prosedural memiliki bobot yang lebih tinggi daripada argumen kesebandingan fungsional semata. Putusan ini menjadi preseden penting bagi Wajib Pajak bahwa dokumentasi yang kuat harus dimulai dengan metodologi pencarian pembanding yang paling konservatif dan dapat dipertanggungjawabkan secara prosedural untuk memitigasi risiko koreksi.
Kesimpulannya, kasus ini menjadi pelajaran berharga bahwa strategi pertahanan dalam sengketa transfer pricing harus dibangun di atas fondasi metodologis yang kokoh. Wajib Pajak tidak bisa lagi hanya mengandalkan analisis fungsional, tetapi harus mampu membuktikan bahwa setiap langkah prosedural dalam pemilihan pembanding, terutama filter independensi, telah diikuti secara cermat sesuai dengan ekspektasi otoritas pajak dan penafsiran Majelis Hakim.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini.